Kuberitahu satu rahasia padamu, Kawan. Buah paling manis dari berani bermimpi adalah kejadian-kejadian menakjubkan dalam perjalanan menggapainya (Maryamah Karpov, Andrea Hirata, hal 433)



Tuesday, November 23, 2010

Getting Old...

Lebih setahun lalu aku sedang membeli makanan ketika kulihat seorang nenek tua berjalan masuk. Bentuk tubuh si Nenek ini sudah ‘lari’ dari yang seharusnya; tubuhnya bongkok membentuk 450, kedua kakinya membentuk huruf O, kedua telapak tangannya membengkok keluar, mulutnya mencong ke samping kiri, pipinya kempot, dan sepertinya giginya sudah hampir tak tersisa. Dengan rambut putih yang cuma tinggal tak seberapa di kepalanya, si Nenek memiliki figur yang aneh, ditambah dengan sikapnya yang seperti tidak sadar dengan sekelilingnya. Si Nenek ditemani seorang pembantu usia sekitar 22 tahun yang berjalan di belakangnya. Untuk sesaat si Nenek berhenti di dekat pintu masuk, kemudian seperti tersangkut, beliau tidak bergerak sama sekali. Kedua tangannya yang bengkok memegang pagar besi yang berada di sisi samping tempat jualan makanan yang tidak bisa dikatakan mewah ini.

Si Pembantu merepet dari belakang, mendesak si Nenek untuk maju namun si Nenek tetap diam. Pengunjung yang lain berkata pada si Pembantu, “Pegang dia dan bantu masuk dong!” Dengan enggan, si Pembantu melakukannya. Kelihatannya, entah kenapa, si Nenek memang stuck tadinya. Setengah ditarik (kalau tidak mau dikatakan diseret), si Nenek akhirnya didudukkan di salah satu kursi yang available. Dalam posisi duduk, sikap si Nenek tetap terlihat aneh. Beliau melihat ke sana ke mari dengan mulut terngaga namun bukan dengan mata heran, sepertinya memang style-nya kalau sedang melihat-lihat. Tangannya tidak bisa diam, seperti gerakan memimpin lagu, dengan mulut yang terkadang komat-kamit tanpa suara. Sebentar kemudian sepiring nasi ayam dan air putih dihidangkan di hadapannya. With an akward movement, dia mengambil sendok dan garpu, berusaha memindahkan potongan ayam di tengah nasi ke samping serta mengesampingkan cabe & bawang merah. Gerakan tangannya sedemikian susah sehingga potongan ayam berjatuhan di meja. Dengan tekun, beliau tetap ‘menata’ sebagaimana yang beliau inginkan. Hampir 5 menit beliau baru selesai ‘menata’, kemudian mulai makan.

Berdiri di sana, sambil menunggu pesanan take away-ku, entah kenapa aku merasa seperti teriris melihat pemandangan ini. Kulihat sekeliling, semua orang sibuk beraktivitas dan mendadak semua jadi ironis bagiku. Yang muda berkarya, yang tua tak berdaya… Di tengah semua gerakan normal yang tangkas, ada gerakan yang tak wajar dari yang renta. Di tengah hiruk pikuk pesanan, obrolan, tawa, dan canda, ada hiruk pikuk lonely yang tak bersuara, sibuk sendiri, tanpa ada perhatian dari siapapun. Aku bertanya-tanya di mana anggota keluarga si Nenek, mengapa beliau hanya sendiri ditemani pembantu yang cuek dan galak? Aku teringat sebuah poster berlambang BEC yang diberikan seorang Bibiku, yang berjudul “Di Saat Daku Tua…” (mungkin ada yang sudah pernah membacanya namun kutulis lagi di sini untuk si Nenek):

§ Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu, maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku.
§ Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku, di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu, ingatlah saat bagaimana daku mengajarimua, membimbingmu untuk melakukannya.
§ Di saat daku dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu, bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku. Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah kuceritakan ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi.
§ Di saat daku membutuhkanmu untuk memandikanku, janganlah menyalahkanku. Ingatkah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
§ Di saat daku kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern, janganlah menertawaiku. Renungkanlah bagaimana daku dengan sabarnya menjawab setiap “mengapa” yang engkau ajukan di saat itu.
§ Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan, ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku bagaikan di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan.
§ Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita, berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya. Sebenarnya topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku, asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia.
§ Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih. Maklumilah diriku, dukunglah daku, bagaikan daku terhadapmu di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan.
§ Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini, kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku. Berilah daku kasih sayang dan kesabaranmu, daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur. Di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga padamu…

No comments:

Post a Comment