Stimulus - FREEDOM TO CHOOSE - Response. Banyak orang yang gak bisa atau gak mau atau gak tau manfaatin kata yang di-bold di tengah itu, padahal kebebasan untuk memilih itu benar-benar gratis dan udah dibawa sejak lahir. Kalo setiap ada stimulus/rangsangan, kita langsung memberi reaksi, itu namanya reaktif. Namun kalo kita biasakan diri untuk memanfaatkan jeda di tengah sebelum memberi respon, maka lebih besar kemungkinan respon kita itu jauh lebih bijaksana.
Kita ambil contoh dunia kerja. Di mana-mana mah gak ada pekerja yang mengatakan "Aku puaaaaas banget dengan gajiku", wajar toh karena uang dikasih berapapun tidak pernah cukup. Ketika gaji kita sejuta, kita ya idup tapi merasa kurang. Ketika gaji kita naek 10x lipat menjadi 10jt, ya tetap idup tapi tetap kurang juga. Why? Karena kebutuhan idupnya jadi bertambah, kualitas hidupnya juga meningkat. Dulu minum kopi di warung2 uda nikmat, yang penting kopi. Tapi setelah bergaji 10jt, kayaknya cuma kopi Starbucks yang enak. Dulu pake hp termurah, yang penting bisa sms-an, bisa buat telpon, uda enough. Sekarang? Harus blackberry yang lagi ngetrend (padahal fiturnya banyak yang gak ngerti gimana pakenya hehehe...), harus bisa connect ke internet, harus bisa fesbukan. Atau beli hp yang bisa foto sekian mega pixel padahal kan hp buat nelpon, bukan buat jadi fotografer atau model karbitan kan? Hehehe... Tapi itulah manusia; the unsatisfied factor yang positifnya adalah meng-create inovasi demi inovasi karena ketidakpuasan pada yang ada namun di sisi negatifnya adalah tidak tahu mensyukuri yang ada. Padahal kembali, setiap sebelum respon terhadap stimulus, selalu ada ruang, selalu ada kebebasan, untuk MEMILIH reaksi yang kita inginkan. Jadi gak alami dong. Well, being human is being flexibel, you got to know when is the appropriate time to be natural, when the time to be wiser by thinking first. Moso setiap hal harus dikasih tau mau gimana bereaksi, tul kan?
Kembali ke topik tadi bahwa gaji tidak akan pernah cukup... Let's say, ada kenaikan gaji tahunan di Kantor. Pasti ada kelompok manusia yang vokal; ciri-cirinya komplain sana-sini, ribut kanan-kiri, gak puas dengan kenaikannya, parahnya memprovokator teman sekeliling untuk cabut aja dari perusahaan ini (yang anehnya, ntar teman2 di sekelilingnya termakan provokasi, nurut dengan quit from the company tapi eeh, dianya masih tetap nyokol di dalam, gak keluar2). Ada pula kelompok manusia yang bingung bimbang; gak yakin puas atau tidak, kalo jujur dipikir, ada tuh perusahaan tempat teman kerja yang gak naik atas nama krisis global, ada perusahaan tempat sodara yang malah PHK-in karyawannya karena mau efisiensi biaya atau malah ngacir karena Perusahaan kolaps. Ada perusahaan gede yang denger2nya meng-cut gaji petinggi seniornya sampai 50% dengan pilihan bersedia di-cut atau mengundurkan diri. Jadi harusnya kan bersyukur ya masih dikasih naek. Tapi nih teman-teman di samping (alias kelompok pertama tadi) yang bilang hal2 gak enak tentang kenaikan; kadang kalo dipikirin bener juga, tapi... Nih kelompok gak punya prinsip sendiri, gampang terprovokasi. Ada pula kelompok manusia cuek, yang naek syukur, gak naek ngamuk (hehehe... itu mah bukan cuek lagi ya?). Kelompok ini reaksinya datar2 aja dan biasanya gak banyak ngomong, namanya aja cuek. Trus ada kelompok (yang biasanya minoritas) yang namanya kelompok yang MEMILIH untuk bersyukur. Daripada gak naek, ini dinaekin wow syukur banget. Tuh yang komplain2, cuekin aja deh.
Nah, reaksi "komplain melulu", "bingung bimbang abadi", "cuek teruuuus", dan "wow, syukur bok!" adalah PILIHAN. Stimulus = kenaikan gaji, Respon = "komplain, bingung, cuek, mensyukuri". Di antara stimulus dan respon = KEBEBASAN KITA MEMILIH. Perhatikan!!! Kenaikan gaji tetap terjadi, artinya stimulus itu tetap toh. Yang berbeda adalah respon. Dan respon itu BISA DIPILIH. Respon itu TIDAK MENGUBAH stimulusnya kan, artinya respon apapun yang kita pilih, stimulusnya kan tetap, yaitu gaji naek. Jadi stimulus itu berada di luar kekuasaan kita, gak bisa kita kendalikan. So why sibuk? Kenapa kita gak konsen aja dengan Respon yang notabene berada dalam kekuasaan kita sepenuhnya.
So apa benefitnya kalo kita milih jadi yang komplain melulu? Kenaikan gajinya kan gak berubah, sejujurnya you ask yourself, are you happier complaining? If yes, gimana rezeki mau dikasih Yang Kuasa kalo kita kerjanya ngedumel melulu, complain forever gak puas2 dikasih apapun, berapapun? Kalo kita milih bimbang? Well, kalo menurutku, jadi orang itu harus punya prinsip, you got to choose and take the risk, baru bisa tumbuh toh. Jangan jadi pengikut arus, think & decide, lu mau gak puas terus tanpa bisa mengubah stimulusnya atau lu mau be happy with what you have and go on, be better and better. Cuek? Is it right not to complain but not to feel gratitude too? It's up to you. Jadi orang boleh sih cuek tapi liat2 porsi & situasi ya. Yang terakhir, syukuri. Stimulus memang tetap, angka/persen kenaikan gaji tidak berubah tapi your mood towards this means more. The happier you are, the easier you accept and be gratitude, maka yakin deh, rezeki gak akan lari jauh dari lu. Seorang teman baikku pernah bilang begini "Kalo lu muram terus, rezeki gak bakal mendekat!" Setelah ku apply, benar adanya lho!
Krisnamurti bilang "Hidup adalah pilihan!". Mr. Tin nambahin "...dan aku memilih sukses!" So, friends, life is really a matter of choice. Ingat aja, stimulus itu something outer of us but RESPONSE IS WITHIN OUR CHOICE, you are free to choose, so choose smartly and wisely!
No comments:
Post a Comment